Ramadhan untuk Pintor
Ramadhan untuk Pintor
Oleh: Bagas Mahardika Purnomo
Hidayah
hanya milik orang-orang yang berusaha mengejarnya. Dan setiap hidayah hanya
Allah-lah yang berkuasa atas siapa yang akan dikehendaki. Tiada siapapun yang
bisa memaksa dan tiada siapapun yang bisa menduga. Begitulah sekiranya yang
sedang dipikirkan Rahman. Siang itu udara begitu kering. Sengatan mentari
begitu menusuk ubun-ubun. Ditambah lagi ada tamu yang tak diduga bertandang
kerumahnya.
“Tadi Bang Pintor datang.” Todong Salim selepas menjawab salam.
“Bang Pintor?” Jawab Rahman keheranan.
“Karena kau tidak ada dia langsung pulang. Katanya
ada yang penting.”
Seketika
keheranan memenuhi kepala Rahman. Kemuraman tergambar jelas. Muka yang semula
bersinar seketika sirna. Dan dengan cepat Salim membaca perubahan mukanya.
“Jangan terlalu dipikirkan. Dan jangan cepat
menyimpulkan. Dia memang bukan orang baik tapi semoga saja ada niatan baik
ketika dia berniat menjumpaimu. Husnuzhon
saja.”
“Astagfirullah.”
Ada
benarnya yang dikatakan sahabatnya itu. Tapi entah mengapa pikiran buruk dengan
cepat menyaingi pikiran baik yang baru saja disampaikan sahabatnya. Sekali lagi
ia beristigfar dan buru-buru ia ke kamar mandi. Menyegarkan pikiran dengan
berwudhu. Selepas ashar ia kembali terpikir tentang Bang Pintor. Sejauh yang ia
ingat ia tak pernah buat masalah dengan penjudi, perampok, dan pemabuk itu.
“Salim. Nanti malam kau temani aku ya.”
“Tenang. Aku temani kau ketemu Bang Pintor.”
“Ya. Bukan suuzhon
dengan dia. Tapi aku hanya tak ingin nanti ada siasat buruk yang ingin ia buat
sama aku. Ya seperti yang sudah-sudah. Aku hanya berjaga.”
Kewaspadaan
memang harus selalu disertai bila harus bertemu dengan preman satu ini. Ia
sudah terkenal dengan kelihaiannya. Silap sedikit maka hilanglah sudah.
Waktu
yang ditunggu telah hadir. Dan tamu yang ditunggu juga telah tiba. Mereka
mempersilahkan preman bertato itu masuk ke dalam kos-kosan mereka.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam.”
Jawab kedua pemuda itu
serentak.
Tanpa
basa basi. Layaknya seorang preman minta jatah setoran, demikian pula Bang
Pintor menyampaikan maksud kedatangannya.
“Abang mau belajar ngaji, sama abang juga mau
belajar agama. Jadi abang minta tolong. Masalah bayaran abang siap dan tak
keberatan. Gimana? Bisa aku minta tolong sama kau? Eh… Dek Rahman maksudnya.” Seringai tergambar di muka Bang Pintor.
“Gimana?” Todong
Bang Pintor.
“Kasi aku waktu menjawab Bang. Sekalian aku tengok
jadwalku juga Bang.” Jawab Rahman
terbata. Apa yang baru didengarnya memang memang membuat siapapun agaknya harus
tercengang.
“Okelah. Besok abang sudah dapat kepastian oke? Assalamualaikum.”
Setelah
kepergian tamu yang tak pernah diduga itu keduanya melakukan diskusi serius.
Salim terlihat senang. Matanya terlihat berbinar. Bahkan hampir-hampir ia
menangis. Dan dengan keseriusan ia langsung meyakinkan sahabatnya itu.
“Kau harus terima permintaannya Man.”
“Ah kau yakin? Dia preman Aksara Lim. Kau ingat? Dia
yang sering malak orang-orang kecil
di sana. Ah, aku gak mau. Apa kata orang-orang nanti?”
“Justru kalau kau menolak. Akan banyak pendapat
orang menjadi aneh. Kau yang lulusan pesantren dan kini kuliah di UIN, yang
berlatar belakang Islam bisa-bisanya menolak menyalurkan ilmu agama kepada
orang yang membutuhkan.”
“Tapi Lim dia itu preman. Penjudi, pencuri, pemabuk.
Sulit mengajarkannya Lim.”
“Sulit bukan berarti tak bisa Rahman. Dan kita harus
ingat. Allah memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya. Dan
Bang Pintor salah satunya. Dan lebih-lebih ini bulan Ramadhan Man. Akan banyak
kebaikan yang kau dapat.”
Sebenarnya
dalam dirinya ia menolak dengan tegas apa yang sedang dihadapinya. Tapi hati
kecilnya seolah meyakinkan dirinya bahwa ia harus menerima. Dan benar kata
sahabatnya itu Allah memberikan hidayah kepada yang dikehendaki dan yang mau
berusaha.
Demi
memastikan jawaban atas persoalan yang dihadapinya kini, ia meminta jawaban
dengan sholat istikharah. Dan dalam doanya ia meminta kalau seandainya ia harus
menerima semoga ketabahan senantiasa dihadirkan dalam dirinya.
Seperti
yang telah direncanakan. Bang Pintor kembali datang.
“Bagaimana Dek? Maunya?”
“Sebelum ku iyakan. Ada syaratnya Bang. Kalau abang
mau, aku setuju. Kalau tidak, ya maaf-maaf aja Bang.”
“Ha bisa. Apa
syaratnya? Yang penting aku bisa ngaji dan paham sikit-sikit soal agama. Ya
gini-gini takut juga aku kalau mati. Dan teringat aku cermah ustadz di masjid
kemarin soal siksa kubur.”
Dalam
hati Rahman ia bersyukur bahwa dengan apa yang baru ia dengar.
“Syaratnya abang harus ikut aku sholat dan puasa di
bulan Ramadhan ini. Cocok abang rasa?”
Lama
Bang Pintor menimbang. Berat rasanya syarat yang diberikan padanya. Tapi
demikian kuat pula keinginannya untuk tobat.
“Oke.
Tapi aku sudah lama tak sholat dan puasa.”
“Tak ada masalah untuk itu Bang. Selama abang mau
pasti bisa.”
Sesaat
setelah Bang Pintor pamit. Dalam hati Rahman senantiasa meminta kekuatan untuk
tetap kuat menghadapi lelaki yang berumur jauh dari dirinya itu. Semoga ia tak
kehilangan sabar. Semoga ia senantiasa diberi kelancaran dalam meluruskan apa
yang melenceng pada diri Bang Pintor.
“Mungkin ini kado dan ujian Ramadhan kali ini. Bismillah.”
Komentar
Posting Komentar